Selasa, 21 Oktober 2008

Sukses mana?

Rudy Habibie dan Rudy Chaerudin, sukses Mana?

 

  Saya ingat waktu di SMA dulu, kami (murid) harus menjalani test IQ

untuk   penjurusan. Sekolah saya menetapkan bahwa murid2 dengan IQ tinggi bisa

masuk ke jurusan IPA/Science. Murid dengan IQ sedang hanya bisa masuk

jurusan Sosial dan yang paling rendah IQnya hanya diijinkan untuk

masuk ke   jurusan Bahasa.

 

  Aturan di sekolah saya ternyata berlawanan dengan aturan dari SMA

swasta   terkenal di Yogyakarta yang mengarahkan anak-anak yang ber IQ paling

tinggi justru ke jurusan Bahasa.

 

  Sewaktu saya diskusi dengan Romo Mangun Wijaya (Alm) tentang kurikulum

sekolah, Beliau mengatakan bahwa pen didikan di Indonesia masih

mewarisi  "budaya" kolonial Belanda.

 

  Menurut beliau, seharusnya anak-anak yang kecerdasannya tinggi

seharusnya   diarahkan untuk masuk jurusan Sosial supaya di masa mendatang akan

lahir   ekonom, hakim, jaksa, pengacara, polisi, diplomat, duta besar,

politisi   dsb yang hebat2. Tetapi rupanya hal itu tidak dikehendaki oleh

penguasa  (Belanda). Belanda menginginkan anak-anak yang cerdas tidak memikirkan

masalah2 sosial politik. Mereka cukup diarahkan untuk menjadi tenaga

ahli/scientist, arsitektur, ahli computer, ahli matematika, dokter, dsb

yang asyik dengan science di laboratorium (pokoknya yang nggak

membahayakan posisi penguasa). Saya nggak tahu persis yang benar Romo

Mangun Wijaya atau pemerintah Belanda. Hanya saja waktu itu saya yang

kuliah ambil jurusan Kurikulum jadi patah semangat karena kayaknya

kurikulum di Indonesia ini hampir tidak ada hubungannya dengan

kehidupan   yang akan dijalani orang setelah keluar dari sekolah.

 

  Kita bisa lihat, Insinyur yang menjadi politisi bahkan memimpin

  parlemen,kemudian dokter (umum) bisa menjadi kepala Dinas P & K atau

tenaga marketing, sarjana theologia yang jadi pengusaha, dsb. Sampai

saat

  ini,masih banyak orang tua dan masyarakat yang beranggapan bahwa anak

yang   hebat adalah anak yang nilai matematika dan science-nya menonjol.

Paradigma berpikir orang tua/masyarakat ini sangat mempengaruhi konsep

anak tentang kesuksesan. Bulan Juni 2003 yang lalu, lembaga tempat

saya   bekerja mengadakan seminar anak-anak.

 

  Di depan 800-an anak, Kak Seto Mulyadi (Si Komo) menunjukkan 5 Rudy.

- Yang Ke-1 : Rudy Habibie (BJ Habibie) yang genius, pintar bikin

pesawat   dan bisa menjadi presiden.

- Yang Ke-2 : Rudy Hartono yang pernah beberapa menjadi juara bulu tangkis

  kelas dunia.

  - Yang Ke-3 : Rudy Salam yang suka main sinetron di TV

  - Yang Ke-4 : Rudy Hadisuwarno yang ahli di bid. kecantikan dan punya

byk   salon kecantikan di bbrp kota.

  - Yang Ke-5 : Rudy Choirudin yang jago masak dan sering tampil memandu

acara memasak di TV.

 

  Sewaktu Kak Seto bertanya "Rudy yang mana yang paling sukses menurut

kalian?" Hampir semua anak menjawab "Rudy Habibie" Sewaktu ditanyakan

"Mengapa, kalian bilang bahwa yang paling sukses Rudy Habibie?"

 

  Anak-anakpun menjawab "Karena bisa membuat pesawat terbang, bisa

menjadi   presiden, dsb" Sewaktu Kak Seto menanyakan "Rudy yang mana yang paling

tidak sukses?" Hampir seluruh anak menjawab "Rudy Choirudin" Ketika

ditanyakan "Mengapa kalian mengatakan bahwa Rudy Choirudin bukan orang

yang sukses?"

 

  Anak-anakpun menjawab "Karena Rudy Choirudin hanya bisa memasak"

 

  Memang begitulah pola pikir dan pola asuh dalam keluarga dan

masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih menilai kesuksesan orang dari

  karya-karya besar yang dihasilkannya. Masyarakat kita banyak yang

belum   bisa melihat kesuksesan adalah pengembangan talenta secara optimal

sehingga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan yang dijalaninya dengan

"enjoy".

 

  Banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa IQ adalah

segala-galanya.

  Padahal kenyataannya EQ, SQ dan faktor2 lain juga sangat menentukan.

Dalam   seminar tsb Kak Seto hanya ingin merubah paragidma berpikir anak-anak

(dan   juga orang tua/keluarga) . Anak-anak dan orang tua harus menyadari dan

mensyukuri setiap talenta yang diberikan oleh Tuhan.

 

  Bila talenta tersebut dikembangkan dengan baik, maka kita bisa

mencapai   kesuksesan di "bidangnya". Jadi untuk anak-anak yang tidak pintar

matematika, anak2 tidak perlu minder dan orang tua tidak perlu malu

atau  menekan anak. Anak-anak yang lebih menyukai pelajaran menggambar dari

pada   pelajaran2 lain, bukanlah anak-anak yang bodoh karena justru anak2

yang   punya imajinasi tinggilah yang pintar menggambar/ melukis. Anak-anak

yang suka ngobrol, kalau kita arahkan bisa saja kelak menjadi politisi atau

negotiator yang baik.

 

  Anak-anak yang banyak bicara, kalau diarahkan untuk menuliskan apa

yang   ingin dibicarakan bisa2 menjadi   penulis yang hebat. *** Mbak Dwi Setyani juga mengingatkan kita untuk

lebih memfokuskan pada kekuatan kita dari pada "wasting time"

  bersungut-sungut, hanya memikirkan kelemahan kita.

 

  Saya pernah membaca pengalaman hidup seorang penyanyi di Amerika.

Penyanyi   tsb dulunya tidak PD karena wajahnya tidak terlalu cantik dan giginya

tonggos. Saat menyanyi di pub, dia repot mengatur bibirnya supaya

giginya   yang tonggos tidak dilihat orang. Hasilnya: ia hanya bisa menghasilkan

suara yang pas-pasan. Ketika temannya meyakinkan bahwa giginya yang

tonggos itu bukanlah masalah, maka iapun bisa menyanyi dengan bebas

dan   meng-eksplore suara emasnya. Ternyata orang-orang mengingat penyanyi itu

karena kualitas suaranya, bukan parasnya yang jelek dengan gigi

tonggosnya.

 

  *** Kitapun meyakini bahwa Tuhan menciptakan setiap kita (manusia)

dengan   maksud yang terbaik demi kemuliaan-Nya. Kalau saja kita meyakini hal

tersebut, maka semua orang akan mensyukuri keadaan dan memanfaatkan

talenta yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya.

 

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar: